Martabat Kematian: Guru untuk Belajar

Saya mengibaratkan Martabat Kematian sebagai sebuah ruang pameran, sebuah dokumentasi kehidupan masyarakat Madura yang dikanvaskan secara cermat oleh penulisnya, Muna Masyari. Di tengah-tengah riuhnya ruang sosial dengan berbagai isu yang tak ragu mengkerdilkan seseorang yang sama sekali tidak dikenal, buku ini hadir, menarik tangan saya dan membawa saya ke Madura.

17 cerita pendek di dalamnya menghadirkan beragam pergulatan batin, pemikiran, ketakberdayaan perempuan sebagai penderita.

Saya diajak ke balai desa yang penuh teriakan, menuntut seorang kepala desa yang harus menghukum mati keluarganya sendiri, dikejar pertanyaan “Seperti apa keadilan yang harus kutegakkan?” dalam Celurit Warisan.

Saya juga diajak mengenali irama Dukka Ronjangan, hiburan yang mengiringi setiap hajatan. Bagaimana dendam yang diam-diam dipelihara oleh Arsap muncul pada waktu yang tak diharapkan dan memudarkan mimpi Marinten, perempuan yang disukainya. Ibu Marinten menolak lamaran Arsap tanpa alasan. Arsap pun memutuskan menikahi perempuan lain dan memanggil grup musik yang diketuai Marinten untuk menghibur undangan, tepat dua minggu setelah lamarannya ditolak.

Marinten pun datang memainkan dukka ronjangan pada malam menjelang pernikahan Arsap: memainkan nada yang sedih dan putus asa untuk membalaskan kekecewaan pada ibunya. Marinten tidak pernah tahu, ibunya hanya ingin membalik cerita lalu. Ia hendak menuntaskan dendam pada keluarga Maksar, ayah Arsap yang telah menolak ibu Marinten sebagai calon menantu mereka lantaran ia dikabarkan memiliki susuk pemikat. Kesumat yang akhirnya mengorbankan Arsap dan Marinten.

Saya juga diizinkan mengintip seorang calon pengantin yang sedang dirias, bertirai kelambu merah muda dengan aroma sedap malam yang meruap di udara, menyaksikan kegelisahan sang pengantin karena dhamar kambang-nya mati, disusul kabar kedatangan Dulamin, laki-laki yang pernah bertunangan dengannya. 7 tahun penantian harus disudahi karena Sum lelah menunggu. Apalagi tersiar kabar Dulamin telah menikah di perantauan.

Kumpulan cerpen ini diwarnai kisah cinta yang kandas karena status sosial, tentang perjodohan sejak bayi, penggusuran oleh penguasa, mitos-mitos yang dijejalkan ke telinga sejak kecil, bagaimana perempuan tak boleh bermalas-malasan agar tak jadi perawan tua, juga bagaimana perempuan dituntut setia sementara suaminya boleh menyimpan kesetiaannya di rumah. Muna Masyari lalu melengkapi ceritanya dengan diksi yang kaya, bulan alis, pagi belum bermata dan membelah rusuk adalah beberapa kata yang menunjukkan betapa ia dengan jeli memilih setiap kata yang ia rangkai agar ceritanya tidak sekadar dilewati begitu saja. Tidak mengherankan sebenarnya, karena ke-17 cerita dalam kumpulan ini adalah cerita pendek yang telah dimuat di media, 3 di antaranya dimuat di Koran Kompas(Celurit Warisan, Pemesan Batik, dan Sortana menjadi cerita pendek terbaik pilihan Kompas 2017). Jadi, buku ini sangat tepat dijadikan guru untuk belajar lebih jauh jika tulisanmu ingin dimuat di media.